Langsung ke konten utama

RAPOT MERAH PILPRES 2014



RAPOT MERAH PILPRES 2014
Oleh M. Nasir Pariusamahu, Ketua KAMMI Daerah Kota Ambon, 2013-2015
Berbagai fase politik telah dilalui bangsa ini. politik kedaerahan, politik ideologi, politik figuritas hingga politik media. Fase-fase tersebut telah memberikan bangsa ini sebuah fakta politik bahwa politik itu dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaaan. UUD 45 tak dijadikan kiblat, akhirnya ideologi negara  ini kembali sayu, dan masyarakat terlunta-lunta di tengah degradasi perjuangan elit politik, akhirnya masyarakat menjadi apatis dan bersama-sama mengumandangkan takbir golput. Padahal sesungguhnya kemerdekaan demokrasi mesti membuat kita bisa dewasa sebagai bangsa besar, sabang hingga merauke adalah satu nusa, satu bangsa, satu bangsa, bukan terurai dengan konflik-konflik pribadi atau kelompok  yang akhirnya membawa alam demokrasi kian tertanggu. Pada fase reformasi ini, Indonesia seolah diberikan harapan kebangkitan yang sangat hebat, namun euphoria kebebasan yang tak diimbangi dengan kesiapan untuk mengganti rezim sebelumnya hanya menghantarkan negeri ini kepada perubahan-perubahan kecil yang terkadang bersifat formalitas. Fase ini bagaikan kanvas putih yang siapa pun bisa mengisinya dan mewarnainya. Lalu warna dominan dari kanvas tersebutlah yang akan menjadi warna khas republik tenggara ini, ya begitulah demokrasi.
Setelah hampir 17 tahun reformasi bergulir, perubahan memang belum terlihat signifikan, amanat reformasi kian jauh dari cita-cita reformasi itu sendiri. Reformasi tergadaikan , bahkan dalam beberapa hal cenderung menurun seperti lemahnya peran KPK dalam membumihanguskan koruptor, Catatan dari Senayan: DPR Masih Utang 133 RUU, eksploitasi sumber daya alam oleh cukong-cukong asing,   serta arus informasi yang semakin liar memaparkan kerusakan negeri ini, namun tak berbanding lurus dengan membangun semangat optimisme dengan berbagai prestasi dan potensi negeri kepulauan ini.
Semenjak Reformasi tahun 1998 kita telah bersama melalui tiga momentum pemilihan presiden secara langsung, yakni tahun 2004, 2009, serta 2014 yang baru kita lewati. Setiap masanya selalu memiliki peristiwa yang mengasyikan untuk kita kaji dan perhatikan:
*Pilpres 2004: Ini merupakan dekade pilpres pertama dalam 10 tahun terakhir pasca reformasi.  Pertama kalinya negara kita melaksanakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, dan pesta demokrasi tersebut berlangsung 2 putaran, putaran pertama diikuti 5 calon, dan putaran ke 2 oleh 2 calon dan dimenangkan oleh SBY, namun peran media belum begitu massif.  Pemilu putaran keduanya diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004 dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil pemilihan umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah, maka SBY- JK menjadi pemenang dengan memperoleh 60,62%  (69.266.350) atas pesaing utamanya Mega-Hasyim yang hanya memperoleh 44.990.704 suara (39,38%)
*Pilpres 2009: Pilpres 2009 yang diselenggarakan pada 22- 23 Juli 2009 merupakan sebuah bentuk baru dalam demokrasi. Dengan kepercayaan tinggi SBY memainkan peran politiknya. Maka dari hasil rekapitulasi KPU tanggal 25 April 2004 menjadikan SBY berhasil menjadi presiden ke enam. Yang unik adalah SBY hanya perlu 1 kali putaran untuk memenangkan kompetisi ini,  dari total Jumlah suara 121.504.481100,00% SBY berhasil mengumpulkan 73.874.562 suara atau 60,80%. SBY sebagai pemenang dalam pilpres sebelumnya berhasil menarik simpati rakyat. Politik figuritas terasa begitu kuat ketika SBY memenangkan kembali pertarungan politiknya yang hanya dengan menggandengan wapres dari kalangan professional dan berkoalisi dengan beberapa partai. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa politik figuritas masih menggurita.
Menatap kondisi saat ini
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena meawan bangsamu sendiri” (Soekarno)
Wajah pilpres dari setiapa masa sangat berbeda. 2004 diikuti 5 pasang konstetan, 2009 mengerucut menjadi 3 pasang konstetan, kemudian 2014 dikerucutkan lagi menjadi 2 pasang konstetan saja. Masih pola lama yakni permainan politik figuritas, permainan figuritas inipun akhirnya hanya menghadirkan dua pasangan calon presiden, hal ini  merupakan hal terbaru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Head to head, 1 atau 2 menjadi sebuah realita politik yang berhasil membendung citra baru demokrasi ke arah yang lebih baik. Menatap pilpres tahun ini, banyak hal baru yang membuat pilpres kali ini lebih menarik dari pemilu sebelumnya, antara lain modus Mark up DPT (daftar pemilih tetap). Modus ini sukses dilakukan pada pemilu atau pilpres 2009, saling bully perang opini, black campign, dualisme media,  ataupun lemahnya sistem tabulasi data KPU yang gampang diserang hackers. Sehingga menuju RI 1 dipresdiksikan akan berjalan alot. Persaingan yang dimainkan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK melahirkan pola baru dalam berdemokrasi. Media dan Gagasan menjadi alat politiknya. Masalah Perang opini ini paling tidak membuat saya mengerti, kenapa kita bangsa Indonesia bisa dijajah sebuah perusahaan kecil dari Belanda bernama VOC, yang diteruskan oleh Belanda, selama 350 tahun. Politik adu domba pecah belah masih relevan hingga saat ini. Metode perang opini yang berkembang di sosmed oleh masing-masing pendukung tidaklah mencerminkan sikap yang baik sebagai warga Negara yang memiliki akar budaya saling menghargai. Nilai-nilai penghargaan atas prestasi malah diputarbalikan menjadi sebuah mitos atau dongeng. Sementara itu, masyarakat dibuat bingung siapa yang benar siapa yang salah.  Hal yang tampil memukau adalah Metode hitung cepat. Sejak pilpres tahun 2004 dan 2009 hitung cepat sudah digunakan. Metode ini, pada awalnya dipelopori lembaga pemantau pemilu di Filipina, Philippine Natioanl Citizen Movement fir Free Elections (Namfrel) ketika meraka mengawal Pemilu 1986. Pada waktu itu, teknik ini dikenal dengan nama hasil perhitungan suara secara parallel, parallel vote tabullaction (PVT). Karena banyak praktik curang yang di lakukan oleh siapa saja. Dasar ilmiah hitung cepat ini adalah teori statistic yang dikenal dengan Centarl Limit Theorem dan Law of Large Number. Menurut Hamdi Muluk hitung cepat pertama kalinya dalam sejarah sebenarnya pada hakikatnya adalah “anak kandung” demokrasi untuk mengawal jalannya demokasi jangan sampai ada usaha-usaha untuk memanipulasi suara segera setelah pencoblosan selesai. Hal ini juga untuk mengontrol terhadap demokasi karenan telah diverifikasi secara ilmiah dan sebagai bonusnya masyarakat segera mendapatkan gambaran hasil pemilu tanpa harus menunggu perhitungan keseluruhan suara atau real count. Namun, yang terjadi pasca detik pemungutan suara adalah terjadinya propoganda hasil hitung cepat. Hal  itu membuat rakyat tidur panjang. Masing-masing kubu mengklaim kemenangannya, dan keduanya pun telah mendeklarasikannya setelah hasil hitung cepat ini selesai dilakukan. Padahal seyogyanya para elit politik itu paham bahwa lembaga survei bukanlah lembaga sah yang memutuskan siapa menang siapa kalah. Malahan, KPU sebagai lembaga resmi yang mengelola pemilu dijadikan sebagai anak tiri. Lembaga survei dan metode hitung cepat pun mulai dipertanyakan keabsahannya.
Adu kuat pun juga terjadi pada keberpihakan media pendukung para capres. Kenetralan mereka sebagai lembaga publik mulai terdegradasi. Media yang diboncengi media merah oleh TV One dan TV biru oleh Metro TV semakin menguatnya perang urat saraf ini. Sehingga lahirlah sebuah istilah “presiden TV One dan Presiden Metro TV” atau bisa disingkat presiden Media.
Setelah kian lama bertalu-talu dengan proses Pilpres 2014 akhirnya KPU lewat Husni Kamil Manik sebagai ketuanya membacakan keputusan pleno KPU di Kantor KPU di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2014). Dan hasilnya Menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih yakni Jokowi-JK dengan perolehan suara 70.997.833 suara atau 53,15% dari total suara sah nasional. Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan KPU nomor 535/KPTS/KPU/2014.
Begitulah gelombang ketiga pilpres ini. Walaupun masih ada sesi gugatan ke MK. Sesi ini menarik sebab dalam sejarah gugatan hasil pilpres dari tahun 2004 ke MK tetap saja penggugat mempunyai peluang kecil. Mungkinkah sejarah itu akan berulang? Atau menciptakan sejarah baru?  Tapi sesungguhnya, kita harapkan para elit politik bisa selayaknya seperti Soekarno saat masa kepemimpinannya yang selalu mengajak rakyat untuk menentang kolonialisme serta membangun optimisme bangsa bahwa Indonesia berhak merdeka dan menentukan sikap serta kehendaknya sendiri, atau seperti Soeharto yang mengobarkan kembali harapan serta semangat bangsa melalui slogan pembangunan dan semboyan-semboyan persatuan. Olehnya itu sudah saatnya kita bersama mengobarkan semangat kebangkitan dari jurang keterpurukan menuju kejayaan peradaban. Hilangkan emosi-emosi kesaling-ketidakpercayaan. Seperti ungkapan sederhana ini “Jauhilah dirimu dari persangkaan, maka sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan”. Bangsa ini lebih membutuhkan “orang-orang yang bekerja dalam sunyi dan jeda yang panjang tanpa nama mereka harus dipampangkan sebagai pahlawan”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melasti dan kem (Bali) ke Kuta

Bersama rinduku walau kita jauh, kasih Suatu saat di Kuta Bali (Andre Hehanusa) Penggalan lagu mantan band Katara Singers tersebut sangat memukau. Semukau pesona yang ada di pantai Kutanya. Namun ada sesuatu yang membuat indah Bali selain pantainya, yaitu budaya dan adat istiadatnya. Masyarakat Bali sangat melekatkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.  Sejak turun dari pesawat, nuansa keBalian telah menyambut kita. Para porter bandara menyapa ramah dengan balutan pakaian safari berwarna merah dengan udeng kepalanya. Hal yang paling sakral yang saya dengar juga bahwa di Bali, tinggi gedung tidak boleh melebihi tingginya Pura. Bukan masalah mitos, bahkan jembatan penghubung Jawa-Bali tidak bisa disetujui lantaran karena hal tersebut. Khazanah yang sama, saya temukan di Kuta juga yaitu Melasti. Upacara pensucian diri ini sangat menarik simpati pengunjung termasuk saya. Itulah daya pikat Bali selain gadis-gadisnya yang anggun layaknya gadis solo.  Prose...

soal 2

 

soal 1