Oleh M. Nasir
Pariusamahu, Ketua KAMMI Daerah Kota Ambon
Kembalikan Ruh Pancasila |
Tentunya
sila demi sila dalam Pancasila telah lazim kita dengar. Tentunya di upacara Senin
maupun memperingati hari bersejarah. Tapi serasa hanya terdengar bak lagu, yang
hanya berkesan ketika dinyanyikan. Menggelora. Tapi detik itu pula hilang dalam
kehidupan. Frase-frasenya hanya bertalu-talu di detik itu saja. Setelahnya
hilang dan kembali lagi pada ritual-ritual seminggu maupun setahun. Begitulah
sila-sila itu diperlakukan hanya sebagai adegan momen. Dan tak penting setelah
itu. Mungkinkah kita perlu membaca ulang pada setiap silanya lagi. Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradap. Ketiga, Persatuan
Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan. Kelima,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
penuh suka cita. Sebagai generasi yang hidup di zaman ini, diharapkan tidak
amnesia terhadap makna dalam sila-sila yang tertuang dalam Pancasila. Sungguh
idealis para tokoh yang merumuskan untuk mengke-kami-kannya di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tentunya pertautan sila-sila tersebut harus menjadi
reverensi dalam konteks mengembalikan masa depan Indonesia. Sebab setiap makna
menguraikan tentang pesan-pesan Tuhan dan kemanusiaan yang telah menjadi inpirasi bagi keberlangsungan Indonesia yang
maju dan berkeadilan berdasarkan nilai-nilai religius yang dimiliki
masyarakatnya.
Sejak
reformasi dikumandangkan 17 tahun lalu. Dan kita tau bahwa reformasi terjadi
karena bangsa ini telah menggadaikan makna Pancasila. Namun amanah reformasi
masih belum bisa menjawab. Sehingga banyak orang termasuk generasi muda yang
salah sangka mengenal relevansi Pancasila masa kini dan masa akan datang.
Persoalan sederhana bahwa Pancasila tempo dulu eksitensinya pernah direnggut
oleh oknum-oknum demi melanggengkan kekuasaannya. Sehingga prestise-prestise tersebut
menjadikan kelompok manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok
pembela Pancasila mati-matian. Mereka menyakini
bahwa Pancasila memang ampuh dalam mempersatukan bangsa Indonesia.
Namun, pemahaman yang mendalam tidak dimiliki oleh mereka sehingga kesetiannya
pada Pancasila seperti mengandung unsur dogma. Kedua, kelompok yang menganggap
Pancasila sebagai slogan kosong, yang tidak bermakna, dan terutama dalam zaman
globalisasi sehingga Pancasila tidak mempunyai relevansi sama sekali. Ketiga,
kelompok yang menyakini bahwa Pancasila bukan sekedar slogan, bukan sekedar
dogma, bukan sekedar moto ataupun simbol. Bukankah Pancasila, kata Bung Karno,
bahwa Pancasila bukan ciptaan atau karangannya.
Melainkan nilai-nilai yang digalinya dari peradaban dan kebudayaan
bangsa Indonesia sepanjang masa.
Sangatlah
melegakan dan membanggakan bahwa dalam transisi pemaknaan Pancasila masih ada
yang punya karakter teguh untuk mempertahankan ide-ide dalam sila-silanya.
Walau kadang mereka tidak terpublikasikan oleh media eletronik maupun cetak. Mereka
itu saya katakan sebagai Pahlawan. Sebab, yang dikatakan pahlawan adalah orang
biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang,
sampai waktu mereka habis. Kiranya mereka layak menjadi pahlawan di tengah bangsa
sedang mengalami dahsyatnya kecamuk yang diakibatkan oleh tergadaikan
nilai-nilai Pancasila. Bukankah usia yang hampir 70 tahun ini, semenjak
diproklamirkan tahun 1945. Walaupun pengakuan Belanda terjadi pada Konferensi
Meja Bundar tahun 1949 dalam sejarah lain. Tempo yang sudah sudah melewati
setengah abad, penuh dengan dinamika. Semangat-semangat penghilangan
nilai-nilai Pancasila tumbuh menjamur seiring pemerintah gagal
menumbuhkembangkan rasa berPancasila ke dalam tubuh rakyatnya. Akhirnya kita
sering menonton adegan konflik di sana-sini, perebutan tahta kekuasaan lewat
pilkada, korupsi akut, pelemahan konstitusi, adu domba, aliran sesat dan nabi
palsu, bahkan isu-isu pengaburan makna NKRI. Olehnya itu, pengembalian semangat
mempersatukan Indonesia itu menjadi hak mutlak di bawah keberagaman suku,
etnis, agama serta budaya di dalam naungan Pancasila.
Sebagaimana
kita ketahui, bangsa ini telah ada sejak dulu. Jika kita membaca, maka kita akan
menemukan betapa bangsa ini telah menguraikan cerita-ceritanya. Bukan sekedar
cerita. Tapi ternyata bangsa ini telah berhasil menjadikannya sebagai primadona
bagi bangsa-bangsa lain. Cerita-cerita tentang kegundahan, kegelisahan bahkan
ketegangan serta perbenturan telah dilalui. Itu yang dinamakan dengan menulis
dari perpektif sejarah. Sebab, perubahan sosial di dalam sejarah merupakan
interkasi empat elemen: manusia, ide, ruang dan waktu. Sebab membaca sejarah
adalah menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani
melakukan kebajikan kebajikan hari ini,
walaupun buah kebajikan itu akan dipetik oleh mereka yang baru akan lahir esok
hari.
Olehnya itu, tulisan ini penuh
harap dapat dipahami oleh kita semua. Sebab menulis hal ini, adalah tantangan
tersendiri. Tulisan ini juga bukan dapat diartikan, saya dikelompokan dalam
kelompok yang telah saya urauikan di atas. Tapi sebagai anak bangsa yang
dilahirkan bukan untuk ditakdirkan menjadi pengamat tapi sebagai “anak yang
baru lahir” juga berhak mengembalikan
azaz perjuangan pendahulu. Tentunya
pergulatan ide, ruang dan waktu telah menguraikan sebenarnya bahwa kita adalah
Negara yang tangguh. Lihatlah, baru-baru ini keberhasilan TNI dalam kegiatan
Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM) yang berlangsung pada 20-23 Mei 2015 di
Puckapunyal, negara bagian Victoria. Keluar sebagai juara umum. Mengalahkan
Negara-negara maju seperti AS, Australia, dll. Prestasi yang membanggakan kita
adalah bukanlah emas yang diperoleh tapai betapa tangguhnya dan percaya diri
TNI lomba di medan laga memakai senjata buatan dalam negeri. Itu sebagian fakta
sejarah yang harus kita maknakan sebagai upaya membahagiakan Pancasila, di
tengah Negara sedang kehilangan aura kepemimpinan.
Perlu kita pahami. Bahwa
Pancasila merupakan karya bersama. Karya bersama putra bangsa. Dari Danau Sentani
di Papua hingga danau Toba di Sumatra, bahwa kebeningan air kearifan masih ada
walau polusi yang ditimbulkan oleh limbah kegaduhan politik yang mengacam
keberlangsungan ekosistem. “Sebab Pancasila merupakan warisan jenius
Nusantara,”kata Bung Hatta. Bangsa Indonesia bukan hanya berasal dari penghuni
yang secara biologis lahir dan turun-temurun berada di tanah pertiwi ini.
Bangsa Indonesia adalah mereka yang mengakui bahwa Indonesia adalah tanah air
mereka. Sebab itu, Pancasila adalah bentuk hasil kesepakatan yang lahir dari
jiwa besar, yang lahir dari rasa solidaritas, hasil proses sejarah yang
panjang.
Sehingga tidak ada alasan bagi
kita, untuk menyelematkan falsafah Negara ini dari simpul pertautan politik
atau serpihan “orang-orang” yang ingin mematikan makna dari kumpulan
sila-silanya. Pancasila sebagai warisan budaya bisa diikat dengan satu kekuatan
sapu lidi yang kuat bukan sekedar serpihan-serpihan lidi yang berserakan dan mudah
rapuh. Perjumpaan kita pada masalah bangsa yang hari ini terjadi mendorong
ikhtiar kita untuk menguatkan kembali dasar, haluan, karakter, dan ikatan
keiindonesiaan di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digenggam erat oleh
kaki Burung Garuda. Mengutip (John Gardner, 1992) “ tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna membangun
peradaban yang besar.” Itulah
Pancasila.
Semoga tulisan ini, dapat
menyemai benih-benih kebaikan. Mendamaikan Indonesia. Sesungguhnya darah dan
airmata telah banyak mengalir untuk MENJADI INDONESIA. Kita kuburkan, Dan
merajut kembali Negeri Zamrud Khatulistiwa ini menjadi Negeri sepenggal Firdaus
di muka bumi. Itu ide aku, kamu, dan kita semua. Dan dari setiap benih kebaikan
itu, tumbuh selaksa bunga pahala di dunia dan akhirat bagi setiap orang yang
berjasa. Terima kasih kepada mereka, H.O.S Tjokroaminoto, Sukarno, Moh. Hatta,
Tan Malaka, Sutan Sjahrir dkk. Amin.
(Y)...keren.
BalasHapus