Langsung ke konten utama

Kedudukan Guru di Mata AI dan Siswa Gen Z

Di tengah gelombang perubahan zaman, guru tetap memegang posisi strategis dalam dunia pendidikan. Namun, definisi strategis itu kini menemukan tantangan baru yakni hadirnya kecerdasan buatan (AI), dan munculnya generasi Z yang penuh dengan karakteristik unik. Dulu, guru adalah sumber utama informasi. Segala hal yang ingin diketahui murid, bertumpu pada penjelasan guru di ruang kelas. Hari ini, informasi ada di mana-mana, hanya sejauh sentuhan jari.

Di sinilah perubahan besar terjadi. Guru tak lagi semata-mata diposisikan sebagai "pemilik ilmu", tapi lebih sebagai "pengelola ilmu" — yang membimbing siswa memilah mana informasi yang bernilai, mana yang menyesatkan. AI, sebagai produk teknologi mutakhir, mempercepat akses informasi. Mesin pencari, chatbot, hingga platform edukasi berbasis AI, menawarkan jawaban cepat untuk hampir setiap pertanyaan.

Namun, AI tetaplah mesin. Ia mampu menghitung, menganalisis, bahkan "mengajar", melainkan mampu memahami emosi, membimbing karakter, atau menumbuhkan semangat manusiawi dalam belajar. Bagi AI, guru bukan kompetitor, melainkan pelengkap. AI mengenali keterbatasannya dalam membentuk rasa empati, membangun integritas, serta menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada siswa.

Di sisi lain, siswa Gen Z adalah generasi yang lahir bersamaan dengan perkembangan internet dan teknologi digital. Mereka terbiasa dengan kecepatan, kemandirian dalam mencari informasi, serta kecenderungan multitasking. Gen Z cenderung mempertanyakan segala sesuatu, termasuk otoritas guru. Mereka tidak mudah menerima kebenaran tanpa validasi data atau alasan logis yang bisa diterima akal mereka.

Hal tersebut membuat hubungan antara guru dan siswa Gen Z menjadi hubungan yang lebih horizontal. Guru bukan lagi "menara gading" yang harus dituruti, melainkan teman berdiskusi yang harus mampu membuktikan kredibilitasnya. Di mata Gen Z, guru dihargai bukan karena usia atau titel, namun karena kemampuan beradaptasi, keterbukaan pikiran, dan keaslian dalam menyampaikan materi.

Mereka menghormati guru yang mampu menjelaskan konsep kompleks dengan sederhana, yang mampu menyisipkan cerita menarik di sela-sela pelajaran, dan yang mengakui ketika tidak tahu, lalu mengajak mencari jawaban bersama. Kehadiran AI mempertegas peran baru guru. Bukannya terancam, guru justru bisa bersinergi dengan AI untuk memperkaya pengalaman belajar.

Seorang guru modern memanfaatkan AI untuk tugas-tugas rutin, seperti menganalisis nilai, mengidentifikasi kesulitan belajar siswa, atau menyediakan sumber belajar yang dipersonalisasi. Dengan begitu, guru dapat lebih fokus pada tugas-tugas yang tak tergantikan: membangun karakter, mengasah keterampilan sosial, dan membentuk pola pikir kritis pada siswa. Meskipun AI bisa membantu dalam banyak hal, siswa tetap membutuhkan sosok manusia yang bisa menjadi teladan. Sosok yang bisa memahami kegelisahan remaja, menghargai impian mereka, dan memotivasi saat semangat mereka redup.

Dalam konteks ini, guru menjadi life coach yang membantu siswa bukan hanya menjadi pintar, tetapi juga menjadi bijak dan berjiwa besar. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi diri. Transformasi ini hanya bisa dipandu oleh sosok manusia yang memahami dinamika batin, sesuatu yang AI belum dan mungkin tidak akan bisa lakukan. Maka, kedudukan guru bukanlah entitas yang tergerus oleh AI, melainkan semakin dikuatkan. Guru adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia digital yang cenderung dingin dan instan.

Di hadapan siswa Gen Z, guru yang dihormati adalah yang mampu berbicara dengan bahasa zaman mereka, namun tetap membimbing dengan kearifan lintas zaman. Guru zaman ini perlu menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mereka dituntut untuk memahami tren teknologi, media sosial, budaya populer, hingga psikologi remaja masa kini.

Ketidakmampuan guru untuk beradaptasi hanya akan membuat jarak dengan siswa makin lebar, hingga akhirnya suara guru tak lagi bergema di ruang hati murid. Sebaliknya, guru yang mau belajar, yang mau mendengarkan, dan yang terus mengasah empati, akan selalu menemukan tempat terhormat di hati generasi muda. Dalam hubungan ini, guru tidak berjalan di depan atau di belakang siswa, melainkan di samping mereka — menjadi teman seperjalanan dalam meniti jalan pengetahuan dan kehidupan.

Kolaborasi antara guru, AI, dan Gen Z menjadi kunci pendidikan masa depan. Teknologi menyediakan alat, Gen Z membawa semangat, dan guru menghadirkan jiwa. Dengan kerjasama ini, pendidikan akan menjadi lebih adaptif, personal, dan sekaligus humanis — membentuk individu yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter mulia. Guru tetap menjadi agent of change sejati, yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk masa depan bangsa lewat generasi muda.

Pergeseran paradigma ini menegaskan satu hal: zaman boleh berganti, teknologi boleh berkembang, generasi boleh berubah, tapi kedudukan guru sebagai pelita kehidupan tetaplah abadi. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan bentuk peran itu agar tetap relevan, tetap menginspirasi, dan tetap menjadi kekuatan transformatif dalam setiap perjalanan siswa. Pada akhirnya, dunia boleh berubah secepat apapun, manusia tetap membutuhkan manusia lain untuk menjadi cermin, sahabat, dan penuntun dalam perjalanan menjadi dirinya yang terbaik.

Guru adalah pelita dalam gelapnya ketidaktahuan, adalah kompas dalam lautan informasi, dan adalah teman dalam perjalanan pencarian makna. Maka, di mata AI, guru adalah engineer of humanity. Dan di mata Gen Z, guru adalah partner in growth — mitra dalam pertumbuhan, pencarian, dan penemuan jati diri. Begitulah, di zaman apa pun, guru akan tetap menjadi sosok yang tak tergantikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melasti dan kem (Bali) ke Kuta

Bersama rinduku walau kita jauh, kasih Suatu saat di Kuta Bali (Andre Hehanusa) Penggalan lagu mantan band Katara Singers tersebut sangat memukau. Semukau pesona yang ada di pantai Kutanya. Namun ada sesuatu yang membuat indah Bali selain pantainya, yaitu budaya dan adat istiadatnya. Masyarakat Bali sangat melekatkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.  Sejak turun dari pesawat, nuansa keBalian telah menyambut kita. Para porter bandara menyapa ramah dengan balutan pakaian safari berwarna merah dengan udeng kepalanya. Hal yang paling sakral yang saya dengar juga bahwa di Bali, tinggi gedung tidak boleh melebihi tingginya Pura. Bukan masalah mitos, bahkan jembatan penghubung Jawa-Bali tidak bisa disetujui lantaran karena hal tersebut. Khazanah yang sama, saya temukan di Kuta juga yaitu Melasti. Upacara pensucian diri ini sangat menarik simpati pengunjung termasuk saya. Itulah daya pikat Bali selain gadis-gadisnya yang anggun layaknya gadis solo.  Prose...

soal 2

 

soal 1