Langsung ke konten utama

Memeluk Kesunyian Ramadhan

tribunnews.com

Tepat pukul 22.58 WIT, suara tadarus di mesjid berhenti. Padahal, pada Ramadhan tahun lalu, tilawah saling bersahutan melalui toa-toa mesjid. Mereka tak mau kalah, biar begadang asal bisa mengkhatamkan sejuz.
Sepanjang jalan raya hanya terlihat lampu-lampu kecil. Cahayanya memantul ke arah kubah dan dinding surau. Bintang pun segan keluar guna menemani angin yang mondar-mandir. Bulan pura-pura menutup mata dan telinga.
Walau pemerintah telah mengumumkan 1 Ramadhan 1441 tanggal 24 April 2020, dengungan beduk tak terdengar. Suara-suara “kecil” shalawatan sebelum tarawih turut serta tenggelam. Bahkan, Aisyah Istri Rasulullah tak dilantukan lagi.
Baru kali ini, sepanjang tahun-tahun dalam usiaku. Hujan tak lagi turun membasahi bumi. Bumi seakan kehilangan arwahnya. Allah pun seolah berlari dari kita. O Alif Lam Mim.
Keramaian bulan suci ini beralih ke dunia maya. Akun-akun saling menyapa, memberi salam. Walau tak saling kenal, ucapakan Marhaban Yaa Ramadhan di ragam status ramai sekali disukai, dan dibagikan. Sedangkan dunia nyata. Tak terlihat “hilalnya.”
Sesungguhnya, hilal Ramadhan  datang menerangi. Rindu berkunjung dan berjabat tangan dengan saudara-saudara. Setiap menyambutnya ada ikhtiar guna mengumpulkan celengan amal. Sebab, kita percaya, setiap amalan yang diperbuat di dalam bulan ini, akan dilipatgandakan oleh Allah. Amalan tidak hanya berupa sholat, baca quran, taraweh saja.  Membagikan bingkisan sedekah kepada kaum duafa, dan menebarkan senyum kepada saudara juga dalam kategori itu.
Namun, sekarang gerakan #tadodirumah gegara corona, pelan-pelan mengurangi amalan-amalan itu. Raut wajah kita tertutupi masker, tangan kita tak boleh menyentuh barang sembarangan, larangan untuk berkumpul. Semua kini harus hidup sesuaikan  standar.
Tapi, Ramadhan Yaa Marhaban. Rindu bersamanya adalah anjuran. Baik dalam keadaan susah dan senang. Ramadhan tak boleh dianggap seperti bulan-bulan yang lain. Apa yang terjadi, hanyalah ujian bagi kita. Kita bertahan, berjuang atau menyerah.
Olehnya itu, peluklah ia dengan segenap hati, dan deraikanlah airmata saat menyepi di waktu-waktu khusyukmu. Panjatkanlah doa-doa dengan khidmat. InsyaAllah, berkahnya akan mengangkat musibah yang sedang terjadi. Bila corona menembus batas daratan. Doa menembus batas langit.
Marhaban Yaa Ramadhan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal 2

 

Melasti dan kem (Bali) ke Kuta

Bersama rinduku walau kita jauh, kasih Suatu saat di Kuta Bali (Andre Hehanusa) Penggalan lagu mantan band Katara Singers tersebut sangat memukau. Semukau pesona yang ada di pantai Kutanya. Namun ada sesuatu yang membuat indah Bali selain pantainya, yaitu budaya dan adat istiadatnya. Masyarakat Bali sangat melekatkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.  Sejak turun dari pesawat, nuansa keBalian telah menyambut kita. Para porter bandara menyapa ramah dengan balutan pakaian safari berwarna merah dengan udeng kepalanya. Hal yang paling sakral yang saya dengar juga bahwa di Bali, tinggi gedung tidak boleh melebihi tingginya Pura. Bukan masalah mitos, bahkan jembatan penghubung Jawa-Bali tidak bisa disetujui lantaran karena hal tersebut. Khazanah yang sama, saya temukan di Kuta juga yaitu Melasti. Upacara pensucian diri ini sangat menarik simpati pengunjung termasuk saya. Itulah daya pikat Bali selain gadis-gadisnya yang anggun layaknya gadis solo.  Prose...

soal 1